Tuesday, October 27, 2020

nineung

i am,

standing still.

moving still.

walking still.

running still.


indeed,

wounded still.

scarred still.

scared still.

yet, carry on still.


for what choice did i, do i, have?

for nothing better there is left for me to do.


yet questions craving for answers still.

one most often surfacing is; 


my love, where are you?


https://youtu.be/JNKjudIKkLg









Thursday, August 13, 2020

drap de lit

di ujung itu
tertumpah pernah
dan nafas kita tak lagi terpisah

di ujung itu
tercurah penuh
dan rasa tak lagi kamu tak juga aku

di ujung itu
tercatat sudah
dan hanya ada; kita.

di ujung itu...

re·straint

my dear, the clock keeps ticking. for what you see its walking steep at leisurely pace, for my eyes its running increasingly further away, carelessly strecthing the distance. thus along the way, i can not afford to have the privilege of being judicious and discriminatory. for i do what i can do best at the space given.

mi querida, within such narrow space in the continuum, i wish i could be an apologetic and have millions excuses as many others amongts us. unfortunately that space, it is a scarce and luxurious resource which i may impossibly abundantly possess, thus you will find me blunt enough on many and so many, happenings. as (too) straightforward as you might find me be, you can privilege yourself to come down in favor of these two alternatives: am i rude, or sincere? i am deeply profound being earnest to allow you to pick between those two.

amore mio, my days are numbered. how will i get through it everyday? i dont know but i get through it anyway. for what its worth, nor what its not, its passed anyway. day by day, day by day. somehow i am negligent still, wasted some of those precious days by not doing for what is one of most and bestest things in (my) life;
being with you.

mon amour, it seems time is not a friend of mine for the time being, yet also for many occasions. i dont have arguments that strong enough to diminish the reasoning of: you will make times, if indeed it precious for you. but comprehend this: i knew, i know, for sure; for every milliseconds your breath heard by my ears, it will be as poetry to the souls. every picometer yours touching mine, it will be as...uh...

kadeudeuh, pupujan ati, it is indeed in limitations and scarcities we may find ourself resiient enough to obtain the distinctive perspectives of wonders and beauties. most importantly, we may willingly wholeheartedly, found each other.

+ArgoParahyanganPandemi,05.25-08.20+

Monday, February 24, 2020

Halit

Gadis kecil itu dipanggil Halit, kependekan dari Hawa alit. Karena memang perawakannya imut mungil untuk anak kelas 3 SD, selain karena ia anak urutan akhir dalam keluarga itu.


Pembawaannya selalu ceria, dan selalu penuh semangat menjalani hari.

Dan hari itu dengan ceria ia masukan semua buku palajaran ke tas, bersiap menuju sekolah. Tempat ia selalu merasa senang dan bersemangat karena bertemu dengan teman-temannya, juga selalu mendapat hal baru dari guru - gurunya. Senyum mengembang saat ia rapikan menyisir rambutnya yg lucu bergelombang. Hari ini aku siap! Semalam tadi sudah aku baca dan pelajari seperti yg bu guru minta, bab 2 dan 3, tidak mudah tapi toh bisa koq! Begitu pikirnya. Setelah mengucap salam dan mencium tangan ayah ibunya ia pun bergerak ceria ke sekolah.

Tak sadar ia berdendang kecil saat angkot yg ia tumpangi menuju sekolah mulai berjalan. Ah, tak sabar bertemu teman teman!

Demikian si gadis kecil, Hawa alit, menatap hari dan menjalani rutinitas sekolahnya.

Namun....hari itu ia mendapat pengalaman yg sungguh tak terlupakan...

Halit merasakan telapak tangannya dingin namun basah oleh keringat. Nafasnya tertahan. Bingung menguasai pikirannya.

Dibacanya lagi berulang-ulang semua soal ulangan yg ia dapat dari gurunya. Tak ada yg salah, bu guru menyiapkan kalimat soal dengan amat baik seperti khasnya dan kebiasaannya. Tapi...mengapa, iya...mengapa...tak ada satupun dari yg ia baca muncul dalam soal soal pertanyaan itu. Tak ada satupun dari bab yg bu guru kemaren minta murid murid baca! Koq bisa?

Tak ayal, angka nilai yg ia dapat pun jatuh.

Hati dan pikirannya dipenuhi pertanyaan, apakah bu guru salah memberi pengarahan kemarin? Ia buka lagi catatan kemarin, betul koq bab 2 dan 3. Lalu ia pun bertanya pada Dani, temen sekelas yg juga rajin seperti ia. Sama koq di catatannya Dani, bab 2 dan 3. "Kenapa Halit? Koq mukamu pucat tidak secerah biasanya?" Dani bertanya. "Ah tidak apa apa", Halit mencoba menutupi kegundahan hatinya.

Dan hari itu ia banyak terdiam. Ia sudah mengikuti permintaan bu guru, ia tahu ia sudah berupaya sebaik - baiknya, namun mengapa hasilnya begini? Saat pulang di rumah, muka murungnya tak mampu ia sembunyikan sehingga ibu bertanya : "Halit bageur, kenapa? Koq murung begitu?"
Halit pelan menjawab "Tadi Halit ulangan tidak bisa bu...kayaknya nilainya jelek"."Lho, ibu lihat koq kamu belajar sendiri dan kelihatan sekali kamu yakin bisa karena sudah berusaha tadi pagi saat pergi, kenapa Halit?" Ibu sambil mengelus rambut gelombang Halit dengan lembut.
"Halit tidak mengerti bu, kata bu guru bab 2 dan 3, terus lihat di catatan Dani juga betul bab 2 dan 3, tapi koq isi soalnya beda bangeeet.., Halit juga bingung..." Ia menguatkan menahan diri agar tak terisak karena bingungnya.
"Ya sudah, coba nanti cek lagi catatannya yg harus dipelajari bab mana dan isinya tentang apa, buku yg ibu beri itu sudah mengantar kakak kakakmu sampai naik kelas lho dengan nilai terbaik...dan ibu tahu kamu lebih baik dari kakak2mu..."

Halit hanya bisa terdiam. Namun ia tahu ia tidak ingin menyerah, nilai ulangan selanjutnya harus jauh lebih baik untuk memperbaiki rata rata nilai yg kemarin jelek. Halit pun kembali menjalani hari - harinya, seceria sesemangat yg ia bisa.

Namun, seminggu kemudian, ia kembali dilanda kebingungan luar biasa saat menghadai situasi yg sama... apa yg ia pelajari sama sekali berbeda dengan soal soal ulangannya! Koq bisa terjadi lagi? Ia tak lagi kuasa menahan rasa sedih…

Lalu ujung matanya menangkap buku yg dipegang oleh Dani, "Dani, ini buku pelajaran hari ini kan? Aku lihat ya?" Dani pun memberikan bukunya. Halit terhenyak, dibukanya Bab 2 dan 3 buku milik Dani, lho koq isinya beda? "Koq sampul depan bukumu warna biru, Halit? Bukuku warna ungu." Dani keheranan saat ia melihat buku Halit. Saat itu juga Halit mafhum, apa yg sebenarnya terjadi. Raut cerianya lenyap, semangatnya runtuh, tangisnya tumpah tak lagi mampu ia tahan.

bu guru pun terheran - heran melihat hasil ulangan Halit, ia semakin heran melihat Halit menangis. Anak seceria itu, yg selalu rajin. Ia pun memanggil Halit ke depan kelas. Tanpa berkata - kata, Halit menyodorkan tangan memegang buku pelajaran yg ia miliki. Bu guru tanpa bertanya pun mengerti, apa yg terjadi. Ia mencoba tersenyum, bukan karena senang Halit bersedia apa adanya tapi lebih karena ia pun mencoba menenangkan Halit. Ia tahu murid cerianya ini sedang perlu ditenangkan dari gundah gulana.
"Sudah Halit, tak perlu bersedih, ibu mengerti dan akan memberi nilai yg pantas untukmu."
Halit masih terdiam, tak mampu mencerna sepenuhnya kata - kata ibu guru.

Masih terngiang kata - kata ibunya saat ia menerima buku itu, "Halit, ini buku yg ibu beri itu sudah mengantar kakak kakakmu sampai naik kelas lho dengan nilai terbaik...dan ibu tahu kamu lebih baik dari kakak2mu..." Bahkan di sampul dalam bukunya pun masih tertera nama kakak kakaknya tertulis disana... Ia tahu, ibunya selalu berupaya agar rumah mereka selalu terjaga dengan pangan dan sandang yg cukup dari pendapatan ayahnya. Salah satunya dengan selalu memanfaatkan melungsurkan perangkat dari kakak kakaknya agar bisa selalu terpakai.

Halit, gadis sekecil itu, sudah mengerti semua itu. Namun kali ini ia sungguh hanya ingin agar salah satu kekuatan dirinya pulih, kemampuannya mendapat nilai baik diantara hal lainnya, seperti kakak - kakaknya, bahkan lebih!

Hari itu Halit pulang masih dengan gundah gulana.

Ibunya hanya terdiam saat ia mendengar anak bungsunya bercerita apa yg terjadi di hari itu, dan hanya setetes air saja jatuh dari ujung matanya dari ribuan yg ia sebenarnya ia tahan di dalam sana. Saat itu, dalam tangis sedihnya, Halit tetap menyadari bahwa ia akan lebih cerdas menyikapi situasi, bahwa seharusnya akan ada selalu cara, harus lebih cerdas menghadapi situasi. Ia sadari, apa tema dan isi bab dan tidak hanya angka penunjuk bab yg harus ia mengerti, Namun semua sudah terjadi.

Esok sorenya,
Halit pulang dengan perasaan berbeda, ia menggenggam dengan ceria sebuah buku baru bersampul ungu. Senyum mengembang tak henti di bibir mungilnya. Dendang kecil selalu terdengar di setiap geraknya.

Di sore itu, ibu Halit diam diam tersenyum betapa ia bahagia masih bisa memulihkan keceriaan anak bungsunya di tengah segala keterbatasan dirinya.

Di sore itu, tertanam sudah jauh di alam bawah sadar Halit, yg terbawa sampai jauh saat ia dewasa, anak- anaknya kelak nanti akan selalu mendapatkan buku terbaik, berbagi sumber ilmu & pengetahuan terbaik, dan tak akan lupa memberi pengalaman pelajaran terbaik saat menghadapi keterbatasan.


[kisah fiksi ini, ditulis untuk anak-anakku]
Pinangsia, 25 Feb 2020.





Thursday, January 9, 2020

pertanyaan pagi

yanda, dari mana datangnya embun? dari luluh, teteh, dari luruh. air sumarah luluh dipeluk udara, kemudian udara merelakannya luruh ketika dititah matari, sarinya luruh direngkuh daun.

yanda, mengapa embun didaun? karena ia tempat labuh, aa, labuh sebelum dan agar air dapat menjadi apapun yg alam titahkan. ketika embun hadir, daun pun tak memaksa embun tinggal, tak pernah kuasa ia biarkan embun jatuh ke tanah atau kembali dipeluk udara.

yanda, mengapa matari terbit? karena pasti, teteh, karena rela. ia tidak memilih terbit, tidak pula menolak, hadir setiap hari, namun selalu sepenuh hati ia bagi kehangatannya.

yanda, bagaimana pelangi hadir? disebabkan mata hati, aa, yg terbuka. sehingga dapat matamu tangkap semua warna yg sebelumnya disembunyikan matari dan kemudian diurai oleh air & udara.

yanda, dari mana datangnya aku?
dari luluh, teteh aa, dari luruh.
karena pasti, aa teteh, karena rela.
disebabkan mata hati, teteh aa, yg terbuka
ketika yg luluh merelakan dirinya luruh, dan sarinya dihadirkan, dan hadirlah kalian mewarnai.

24 Juli 2010



[socana]

aduh ternyata tidak mudah menerjemahkan ke bahasa ibu...

[bahasa ibu]
socana, nu estu pangcampernikna, jandela hatena, mung tiasa ngintun isarat, yen anjeuna tos lami mikaterang.
socana, nu estu kuring hoyong mihartos bulungbung jerona, jandela kalbuna, mung tiasa ngintun firasat, yen anjeuna tos lami ngantos sora hate eta kabedalkeun.
socana, nu duka kunaon kuring janten ngahiap mun neuteup, ngahaturkeun pinaros, kunaha kedah ngantos saparantos salami waktos, sora hate teh kadugikeun. 
duh enung, duka atuh kunaon kaum istri mah kedah we hoyong ngadangu (deui) anu saleresna tos caang dipikaraos dipikaterang.

[bahasa tanah air, versi asli]
matanya, yg selalu terlihat cantik bagiku, jendela hatinya itu, hanya bisa mengirim isyarat. bahwa memang sejak lama ia tahu itu.
matanya, yg kedalamannya selalu ingin kuselami, jendela jiwanya itu, hanya bisa mengirim pesan, memang sejak lama ia menunggu bunyi hati itu terucapkan.
matanya, yg entah mengapa sering membuatku terkesiap ketika memandangku, menunjukkan tanya, mengapa harus setelah sekian lama ukuran waktu, bunyi hati itu baru tersampaikan.
entah mengapa perempuan selalu saja ingin mendengar (kembali) sesuatu yg sebenarnya sudah ia rasa dan tahu.

aya nu tiasa/kersa ngahartoskeun ti basa tanah air ka basa ibu nu langkung sae ti kuring?
ada yg bisa menterjemahkan dari bahasa tanah air ke bahasa ibu yg lebih bagus lagi dibanding versi diatas?
anybody please do disregard any hesitation to interpretate from versi asli to the basa ibu?

atau ada yg mau ke bahasa lain? francais? jawa? padang? portuegesa? espanola? basque? et cetera et cetera?

tulisan lain ada di klik aja ya...

24 Mei 2011.

perempuan lain itu

maafkan aku.
perempuan lain itu, ada.
perempuan lain itu, hadir. diantara kita.

maafkan aku.
akupun tak tahu kenapa bisa muncul perasaan seperti ini ke perempuan lain, yg lebih kuat dari perasaanku kepadamu, kamu yg kupilih kunikahi.

aku mengerti,
kamu tak akan sepenuhnya mengerti,
mengapa terjadi seperti ini.

aku tahu,
bahwa kita berdua sama - sama tahu,
hal seperti ini akan terjadi juga.
hanya masalah waktu.

aku paham,
kamu tak akan benar - benar paham,
pada apa yg terjadi kemudian.

tapi inilah adanya,
perempuan lain itu, ada.
perempuan lain itu, hadir.
maafkan aku,
maafkan hanya bila kau mau berbagi,
maafkan hanya kalau kau mampu.

ah,
aku mungkin tak akan pernah mengerti hal ini dan mungkin sudah sifat alami kaummu, perempuan, bahwa betapa sering kamu kesal terpicu ulah dan hal yang -menurutku- kecil dan tak layak menguras enerjimu. namun, perempuan lain itu, berbeda. hal - hal kecil ulahku entah kenapa malah membuatnya tersenyum, tertawa kecil saja, namun terdengar indah. seperti pagi ini -setelah malam terlewatkan bersama, malam dimana kita saling membangunkan ketika yg satu terlelap, dan menikmati keintiman yg terperi- ketika kusentuhkan dagu ke pipi lembutnya, mulanya ia diam dan nampak kesal terganggu tidurnya, tapi kemudian perlahan tersenyum, ya tersenyum, kemudian tertawa kecil, giggles, tanpa membuka mata. mungkin karena sudah akrab dan sering sudah aku bersamanya sampai hapal ia dengan aroma tubuhku sehingga tanpa melihat pun ia tahu siapa yg menggelitik pipinya, dan bagian lainnya pun ia biarkan ku gelitik, halus, lembut, dan keintiman pun berlanjut.
dampak yg sepertinya sama nampaknya juga terjadi padaku, seperti kemarin dulu, ketika aku terbatuk, dan tidurnya terganggu, dan ia protes. maafkan aku, biasanya ketika kamu, istriku, protes maka sering refleks aku protes balik. tapi ketika ia lantang memprotesku, aku tak berdaya melawan, dan akhirnya kupeluk ia, mencoba meredakan, dan semua sesak terlepaskan ketika ia akhirnya tersenyum.

oh,
nyaris lupa kuceritakan padamu, ingat betapa sering kamu, -perempuan yg sepenuh sadar kunikahi- memboroskan enerji mencereweti betapa sering ceroboh dan teledornya aku, mulai dari bingungnya kamu mengapa aku bisa menikmati sesuatu yg (menurut standar defisimu) semrawut? mendapati dan melakukan sesuatu yg membahayakan diriku sendiri dan juga terkadang sekelilingku? dan aku hanya bisa tertawa melihatmu memandangku dengan frustasi, bebal nakalnya! gak berubah! begitu serumu. tapi hadirnya ia, perempuan lain itu, tak hanya sedikit ia membentuk laku baru, langkahlaku-ku. ya mungkin tak akan sepenuhnya ia akan mampu merubah, tapi setidaknya tumbuhlah rasa itu, rasa mau mengalah, hanya pada ia, perempuan lain itu. walau aku tahu, dan entah kenapa aku tahu pasti, sepenuhnya ia menerima seperti itulah aku sebelum hadirnya ia, perempuan lain itu.

ya,
tentu saja, sanggahlah saja, bila bagiku; ia lebih cantik darimu, lebih mudah membuatku merasa kehilangan ketika jauh, lebih terasa hadirnya bagiku. bukan karena punah sudah semua yg kurasa dan kusimpan untukmu, yg kupilih kunikahi. masih ada disini, kuat, tersimpan di sini, tetanam dalam, amat dalam. tak ada kurangnya dirimu, untukku dirimu lebih dari cukup. tapi begitulah, bagi sebagian banyak orang ia, perempuan lain itu, tidak secantik yg kupikir, bagiku ia yg tercantik, yg merajam hati selalu keinginan itu; -desakan untuk selalu dekat dengan ia-, kebutuhan akan hadirnya justru lebih terasa ketika ia tiada. bahkan sebenarnya ia yg kulabuhkan ke diri, bukan (hanya) aku yg meluruhkan diri ke ia, perempuan lain itu. tak masuk akal menurutmu? ya sanggahlah saja, tak bisa kujawab mengapa kenapa. karena itulah entah kenapa sebenarnya benar - benar aku tak mengerti, kenapa bisa muncul perasaan seperti ini ke perempuan lain, yg lebih kuat dari perasaanku kepadamu, kamu yg kupilih kunikahi

hm,
kamu tentu ingat bahwa aku selalu suka mengamati hujan ketika jatuh, entah hujan pagi, entah siang, entah malam, terutama di sore hari. dan sore kemaren, -saat bersama ia- maka tumpahan air yg tak kuat digenggam awan ketika mereka semakin berat terakumulasi dilangit di atas sana, wingit dan sahdu lebih terasa. ku genggam dan peluk ia, perempuan lain itu, kujaga dari dingin yg mencoba bersimaharajalela. ketika ia susupkan kepalanya ke dadaku mencari perlindungan setelah suara gelegar petir itu, aku tahu saat itu juga, ia, perempuan lain itu, senantiasa akan kulindungi, sepenuh hati.

dan pagi ini, setelah ditelikung dingin sisa hujan subuh tadi, sehingga masih rapat saja selimut itu menutupi tubuh kami setelah semalam penuh bersama, saling membangunkan ketika yg satu terlelap, saling menyumarahkan rasa dan membangun keintiman yg selalu rubuh setiap mendekati lelap, berulang kali, malam tadi.
dan pagi ini, masih saja aku belum beranjak dari sisinya, perempuan lain itu, tak puas juga lekat aku memandanginya, menyentuh lembut, semua terasa hening dan hanya terdengar degup jantung, milikku dan perempuan lain itu, dan sang waktu kali ini menolak untuk menampilkan wajahnya sebagai perintang. dan....























"yanda, udah dong, kesiniin vara-nya, udah waktunya dimandiin"

aku tersenyum, kuangkat lembut perempuan lain itu, diserahkan ke tangan bundanya yg lebih paham dan ahli menangani masalah perempuan lain itu dalam hidupnya.
dua perempuan indah.

+days after 17th june 2005+



sus scorfa faeces *bo hoki, bo hwat* (punten sawios tong diaos, pamali...)

ah pokona mah kieu, aya tilu urang budak ngora sosobatan. sebut we nami alias: ujang ibi, ujang ucup, jeung ujang yono. kacida teu baralegna eta tilu sobat teh, tapi teuing kunaon ku sabab meureun pinter kodek, teu baraleg ge anggeur we hirupna mayeung....emang keur jamanna meureun nya nu parinter kodek ahli ngibul kalahkah jaradi diaku ku masarakat.
ah pokona mah kieu, eta tilu sobat panasaran hayang ngasaan naek gunung. da saumur - umur ngan saukur naek ka para jeung ka na genteng wungkul, tara naek gunung mah. da biasa hirup ngeunah, tara we kapikiran hayang hese, komo naek gunung mah. tapi da teuing kunaon, ujug2 we godaan naek gunung teu karuateun nahan, kudu we dicumponan.
ah pokona mah kieu, eta tilu sobat akhirna nepi tah ka sisi gunung, sebut we eta gunung ngarana dilandi gunung hareupmonas. tah didinya teh aya nu jajaga, jadi juru kuncen gunung, aya 2 tah kuncen na teh. sebat we salah sahijina nami aliasna: abah ato. puguh eta eta tilu sobat teh rumasa si abah ato simana kuat, da elmu teu baleg nu dipikaboga si tilu sobat teh jigana hasil nitis ti si abah ato eiu. hiji deui nu janten kuncen teh, geus maot, namina si abah ano, ayeuna propesi kuncen si abah ano diwariskeun ka nini ega. puguh teu sasakti si abah ano, jauh pisan, teu bisa dibandingkeun. mung duka kumaha da para wargi di parumpon abah ano teh percanten we nini ega ge sakti ngan saukur kulantaran si nini turunan ti si abah ano.
ah pokona mah kieu, si tilu sobat ngahaja ngadeup ka 2 kuncen, menta widi.
boh si abah ato, boh si nini, dua duana omat2an, mun naek gunung eta, tong nepikeun katincak eu-eu na bagong. pamiarsa, aya nu teu teurang naon eu-eu bagong teh? ya ieu atuh sing jentre bilih teu terang mah: tai bagong, nama latinnya: sus scorfa, eu-eu tah ceuk dokter mah digentos namina janten: faeces. da rumasa meureun pamiarsa seueur pisan nu geuleuhan, janten ngarah langkung sae sareng keren, gentos we lah ku nu keren : sus scorfa faeces. kan ayeuna mah jaman na kitu, karesep masarakat eyuna mah kitu, nu barau mung saukur digentos namina, janten ditutup kateusaenana, padahal angger we: bau.
ah pokona mah kieu, tah eta nu namina sus scorfa faeces teh,katelah pisan pamalina, tong waka katoel, kaambeu ge tos bahaya. komo deui katincak, wah bakal sial pisan ceunah ceuk dua kuncen teh...
tapi da nafsu naek gunung geus dijungjung, pokona mah nepi we tilu sobat teh ka puncak gunung, mung teu babarengan, ujang ibi heula, teras ujang yono, mung ujang ucup mah saeutik deui ka puncak geus ngalehleh cape...ditanya ku ujang ibi: "euy ucup, kunaon atuh maneh teh, saeutik deui yeuh..." ucup ngajawab bari hahehoh capeeun: "teu kuat euy, beak nafas". ujang yono nembalan: "naha bisa beak nafas, pan modal tanaga mah sarua malah leuwih hade tidinya". ucup ngajawab: "duka atuh, asa bararau yeuh" ibi jeung yono papelong pelong, terus babarengan nanya ka ucup: "ucup, didinya ngarasa nincak nanaon teu?" ucup langsung ngahuleung, terus umba ambeu, terus bari sedih nembal : "aaaaaaaaah euy, nincak taeun bagong yeeeeeeeeeeeuuuuuuuuh". ibi jeung yono babarengan: : "alaaaaaaaaaaaaaaaah siah, siaaaaaaaaaaaaaaallll"
ah pokona mah kieu, ucup ceurik. ibi jeung yono sura seuri.
malah yono, make gaya khasna, kalahkah mapatahan "sodara2, kumaha ge sadayana kumaha amal - amalan. sing santun, kedah jagi etika"
ucup beuki ceurik, bari geuleuh, boh ku faeces boh ku papatah yono.
ah pokona mah kieu, eta tilu sobat balik turun gunung. terus masing2 misah, hirup jalan masing2. gawe, karir, nikah, baroga anak.
ah pokona mah, sanggeus 17 taun papisah, ngayakeun reuni we akhirna.
ah pokona mah kieu, ternyata teu 100% bukti pamali ti 2 kuncen gunung teh, mung 50%, ternyata eta tilu sobat katelah suksesnya, jadi terpandang diaku ku masarakat. mung, tah ieu meureun 50% sialna, ucup istrina euweuh geulis2na, matre pisan, jeung judes kacida. nu bingung, naha geuning istri ibi ge teu beda jeung ucup, katelah tara gumujengna eta istri wanoja teh.
ucup jeung yono panasaran, nanya : "naha euy geuning bobogaan didinya bisa kitu, pan mung ucup baheula nu nincak ssf (disingkat we lah pamiarsa eta si eu eu)?"
ibi, bari nahan ceurik, nembal : "hampura euy ucup, sabenerna mah baheula, ihiks, eta teh, ihiks, sim kuring labuh kana gugunduk, ihiks, gugunduk, ihiks, taeun bagong tea..." ucup jeung yono: "haaaaaaah, naha teu bau atuh ibi?"
ibi : "nyaeta, kuring geuwat ceungkat, terus baju jeung calana dipiceun terus ganti baju, gugunduk di abur daun ngarah teu katingali, pas ucup tukangan ibi, tah jadi we teu katingali da katutup daun, ku ucup teu karasa katincak..., duh hampura ucup, ayeuna aya kabukti sial geuning..., ihiks ihiks ihiks."
ucup bengong, yono sura seuri asa rumangsa pangbersihna. jeung baku biasa, mapatahan bari goyang goyang panangana : "tuh pan ceuk kuring ge, sadayana kumaha amalan, kumaha ngajagi etika na" padahal intina mah narsis rumangsa pangteunincakna jeung teu pangbauna.
ucup ngeukeup ibi, ibi ceurik ngagukguk, ceuk ucup : " geus ibi, geus, repeh...urang mihampura, tong diinget inget deui soal taeun bagong mah"
pas beres ucup ngomong kitu, jol tah istri yono, kacida geulis, seger, jeung katingali pisan solehah jeung bageur pisan, jeung jiwa aktif jigana, naros ku sae basa jeung intonasi:
"euleuh, bapa bapa, na kunaon, hapunten abdi tumaros, naha dugi ka ragrag cisoca, tara tara ti sasari, atanapi dupi ku sono pisan kitu dugi ka pageuh ngeukeup salira? duh sae tur bagja atuh nya sosobatan siga kitu teh..."
ucup nembal:
"ah punten, sanes kitu, ieu mah mung emut ka nostalgia, kapungkur, hehehe, punten, hehehe, eta kapungkur emut abdi duaan nincak, hehehe, punten, kungsi nincak taeun, heheheh, eta taeun bagong....pas naek gunung hareupmonas jaman ngora keneh"
istri yono nu geulis bageur jeung sajabana, bengong, kaget, ngahuleung, teras seuri alit bari nutupan biwirna nu campernik...
ibi naros : "eueluh, muhun pikaseurieun aya aya wae yeuh pangalaman kuring jeung sobat ucup jeung yono nuju ngora"
istri yono, nahan nafas, teras nembal deui:
"sumuhun, da abdi ge kapungkur nuju mahasiswa ge ngiring pecinta alam, teras pernah oge ngiring tim survei naek gunung nu sami, sareng....aduh isin abdi....ehm, punten, sami abdi, ehm, kapungkur ge abdi nincak faeces eta oge...aduuuuh isiiiiin"
ucup jeung ibi bengong,
terus melong ka yono.
eta duaan, ibi jeung ucup,
ujug2 babarengan seuri ngabarakatak tarik teu eureun - eureun bari tutunjuk ka yono ............................................................................................................................................................................................................................................................
06 Maret 2010

Beurit's Choice



[fableseries]
barusan saja mendengar kembali cerita ini, dan disela waktu dan upaya mencari kantuk, dituliskan ulang sajalah...

2 ekor tikus, sekian lama diam di lubang mereka yg hanya punya satu jalan masuk yg juga satu2nya jalan keluar. dan seekor kucing setia menanti di depan pintu itu. postur siap terjang dan terkam sang kucing begitu kentara dan menggentarkan 2 ekor tikus yg terperangkap di lubangnya sendiri. lubang tempat mereka hidup tidaklah buruk, paling tidak untuk standar kehidupan tikus. bahkan bagi standar tikus, lubang tempat tinggal mereka termasuk diatas rata - rata standar tempat tinggal kaum tikus. tidak mewah, tapi lebih dari cukup.

dan tak perlu kita ragukan bahwa alam memang menggariskan tikus (dan seluruh mahluk hidup tentu saja) selalu mengikuti naluri paling mendasar untuk bertahan hidup dengan: makan dan segala upaya mendapatkan makanan.

dan tak perlu kita pertanyakan mengapa alam menggariskan kucing selalu geram dendam penuh gairah memburu menyantap tikus.

dan sebelum tiba masa hadirnya seekor kucing yg dengan setia menjaga satu2nya jalan masuk keluar lubang itu. segala upaya dilakukan tikus untuk mengepul dan menimbun makanan. kadang mereka ambil utuh, sering hanya sisa saja yg mereka dapatkan. dan untuk saat itu, cukup atau bahkan lebih dari cukup untuk mereka.

sejak hadirnya kucing yg entah mengapa amat setia menjaga jalan masuk keluar itu, tak leluasa lagi, bahkan tak bisa lagi mereka keluar mencari dan mengupayakan makanan. mereka tak tahu bagaimana kucing bisa bertahan sekian lama setia menongkrongi jalan itu, mereka tak tau dan bingung bagaimana kucing sekian lama mendapatkan makanannya sendiri selain menunggu menyantap mereka yg memendam diri di lubang, yg mereka tau, mereka sendiri butuh makanan, segera.

kucing kadang mengintip ke lubang, kadang mengaisngaiskan cakarnya ke dalam, tentu saja tikus sudah mengantisipasi dengan memipihkan badannya dan menjauh dari cakar cakar itu.
tikus sering mengintip keluar lubang, mengamati situasi dan tentu saja mencari peluang bagaimana bisa keluar tanpa terkejar cakar tanpa teraih taring kucing. Namun entah kenapa, kucing siaga satu selalu, setia.
matanya tajam, otot kaki kakinya mengencang dan siap dipakai sprint dengan percepatan mencapai kecepatan maksimum hanya dalam hitungan kurang dari sedetik, itu hasil pengamatan tikus ketika mereka mengintip sedikit saja di lubang dan bau tubuh mereka tercium oleh hidung dengan kumis panjang kucing.

hingga suatu waktu, di upaya pengintipan yg entah keberapa kalinya entah sudah menginjak hari keberapa mereka terpendam terkurung di lubang itu, mereka nyaris saja bersorak kegirangan bila tidak ingat akan kewaspadaan: si kucing nampak seperti tertidur, dan bila mereka bersorak dikhawatirkan akan terbangun!

tikus pertama menawarkan tikus kedua untuk terlebih dahulu keluar lubang, supaya nanti dapat kehormatan mendapatkan makanan utama! begitu katanya.
tikus kedua tertawa. entah bagaimana suara tertawa tikus, tapi begitulah adanya. di sela tawanya dia lantangkan; dan makanan itu untukku, hanya untukku, tidak akan kusisakan untukmu yg berpurapura memberi kehormatan dan kemudian hanya diam menunggu di lubang ini sampai aku kembali membawa makanan! begitukah? tawanya cukup keras.

dan kucing jadi terbangun.

dan mereka, kucing dan tetikus, kembali ke situasi klise, saling mengintip, saling menunggu. kucing tajam mengawasi, tikus waspada mengamati.

waktu tak pernah memberi peluang bagi mereka yg berharap ia akan berhenti, tak peduli tak mau tahu, ia terus saja berlalu. dan ketika kita mulai menghitung nafas yg sudah mulai hilang satu persatu, ia malah akan semakin kencang berlari.

tikus semakin lapar, kucing pun mungkin sama. mengingat mereka tak saling beranjak dari situasi stagnan, status quo, tak ada yg mengambil langkah berarti. 

dan sang waktu tidak mencatatkan satu kata ini dalam kamusnya: kompromi. ia masih saja, terus saja, berlalu.

dan diantara semua kejadian dalam hidup yg kita alami, selalu ada minimal satu kejadian tunggal yg menentukan arah hidup dan memberi arti. mari kita rangkum saja hal itu dalam kalimat ini: kejutan hidup, dan semua bentuk harapan yg ditimbulkannya. dan ini yg kemudian terjadi: si kucing, entah kenapa terbaring terkulai lemah. matanya yg biasanya tajam menatap ke lubang ikus, kini terpejam dan kehilangan cahaya hidup. otot otot kaki yg selalu mengencang setiap dia mencium bau tikus mengintip dari lubang, kini terlihat tipis kurus dan tak bertenaga. dadanya yg sebelumnya terlihat berotot membusung melambangkan jumawa kaum pemangsa, kini cekung menampilkan garis tulang tubuhnya.

tikus pertama berbisik, apakah ia tertidur seperti sebelumnya?
tikus kedua menggumam, apakah ia hanya berpura tidur?
tikus pertama menggerutu sambil memicingkan mata, awas jangan lantang bicara lagi dan membangunkan dia!
tikus kedua menyorongkan kepalanya keluar lubang dan setengah berbisik, apakah, mungkinkan, ia mati?
tikus pertama kemudian ikut mendorongkan diri sedikit saja agar matanya dapat menilisik kucing di kejauhan, apakah dia juga kelaparan seperti kita? 
tikus kedua manggut manggut, pastilah kemampuan bertahan hidup kucing tak sebaik kita, para tikus, bukankah kita selalu disebut sebagai mahluk yg mampu bertahan hidup?
tikus pertama bertanya dan masih saja berbisik, jadi kamu yakin dia mati?
tikus kedua memunculkan lagi kepalanya keluar lubang dan menjawab dengan tak lagi berbisik, semua tanda kehidupan tak tampak lagi, aku mencium aroma kematian, tidakkah kau cium bau yg sama?
kedua tikus itu pun menyorongnyorongkan hidungnya dan mengedutngedutkan hidung membaui udara.

tikus kedua angkat bicara dengan tegas, aku yakin dia mati.
tikus pertama menunjukkan muka ragu, bagaimana kalau dia hanya pura - pura mati?
tikus kedua, kalo dia tidak mati, ketika kita sedikit saja keluar lubang seperti barusan kita lakukan untuk mengendus aroma dia, dia pasti terbangun dan mengaiskan cakarnya ke dalam lubang sebagaimana selalu ia lakukan selama ini!
tikus pertama masih ragu, apakah bisa kita dapatkan makanan sekarang?
itu yg ia tanyakan karena hanya itu yg ada dibenaknya saat ini.
tikus kedua menyela, tak ada gunanya, tak ada bedanya, diam di lubang ini kita akan mati kelaparan, nyaris tak bersisa makanan kita, aku akan keluar mencari makanan.
tikus pertama menahan tikus kedua, setengah memohon ia membujuk, janganlah kau paksakan keberuntunganmu...masih ada sisa yg bisa kita makan, kita berhemat sajalah sambil menunggu kepastian kucing itu, pasti membusuk ia!
tikus kedua terdiam sejenak kemudian menjawab, kau mungkin benar tentang kucing itu, tapi kau salah bila kita pun hanya diam menunggu dan membiarkan waktu berlalu, dan yg kau bilang sisa itu sudah lama tak layak makan, dan mati juga kita nanti karena memakan yg tak layak itu!
tikus pertama kesal dan geram, terserah kau saja, aku sudah peringatkan! jangan salahkan aku pada apa yg nanti terjadi padamu! aku lebih baik menunggu! paling tidak hangat di dalam lubang ini tidak berangin seperti di luar sana!
tikus kedua mulai beranjak dan mengerahkan tenaga terakhirnya menuju jalan keluar lubang, aku akan bawakan kau makanan nanti, walau kau tak membantuku, tetap akan kubawakan.
tikus pertama memalingkan muka, tak usah kau janjikan yg muluk, tak usah janjikan sesuatu yg tak bisa kau penuhi, aku tak mau mengikuti kebodohanmu! masih hidup saja sudah beruntung kau nanti!

dan tikus kedua bergerak dan bergerak, ragu ia tanggalkan, keyakinan ia mantapkan. namun waspada tetap ia kuatkan. penuh sekarang tubuhnya melewati jalan keluar lubang itu. ia tetap bergerak, dan melangkah, dan bergerak, dan melangkah. semakin mengecil jarak ia dan kucing itu, dan waktu kali ini terasa lambat berjalan ketika semakin mendekat tempat kucing berbaring. tak ada jalan lain, tak ada pilihan lain, harus dan tak bukan hanya melewati depan hidung si kucing jalan tersisa sebelum ia terbebas menuju ke arah makanan berada. semakin dekat ia, semakin kencang degup jantungnya sampai terasa sesak nafasnya. namun ia jalani juga, ia hadapi juga. kali ini ia alami, sesuatu yg sebelumnya hanya ia pahami hanya dalam bentuk kata, benar - benar ia pahami betul dia alami kali ini; satu - satunya cara menghadapi rasa takut, hanya bisa dengan dihadapi, dijalani.



..................................................................................
.................................................................
.........................................................
.................................................
...........................................
...................................
..........................
.....................
................
............
......
...
..
.








ia bernafas lega, dihembuskannya nafasnya panjang panjang, sudah lebih dari tiga langkah ia menjauh dari celah antara dinding dan hidung berkumis panjang si kucing. artinya, tahap pertama sudah ia lewati. ketika ia lewati hidung kucing itu, ia merasa masa paling kritis sudah ia lalui, karena tepat dibawah hidung kucing itu tersimpan taring dan tak jauh dari situ cakar juga tepat disebelah mulut kucing karena ia tidur, atau mati?, dengan posisi telungkup. dari ujung matanya ia lirik tikus pertama yg hanya mengintip dari lubang dengan mulut menganga dan  muka yg tegang. kemudian sambil sedikit tersenyum ia menatap ke depan dengan pasti, sekarang ke tempat makanan berada! dan ia kemudian melangkah lagi.

dan kemudian...


..................................................................................
.................................................................
.........................................................
.................................................
...........................................
...................................
..........................
.....................
................
............
......
...
..
.


yg ia tahu,
yg ia ingat,
yg ia dengar terakhir kali,
sebelum semuanya menjadi gelap,
adalah suara jerit tikus pertama, kencang.
nyaring sekali namun hanya terdengar sekejap kemudian semua lenyap setelah rasa sakit luar biasa. 
dan rasa sakit itu, sungguh tak terperi pedih perihnya, namun hanya terasa sekejap dan semua hilang, sirna, lenyap, pupus, punah.

tikus kedua sudah sampai di titik akhir perjalanannya, dan bilapun memang ada yg mencatatkan hidupnya, maka ia hanya akan menjadi bagian terlupakan dari sejarah. debu waktu yg segera akan terlupakan.

ia sudah mencoba, dan mati.
ia mati, setelah sebuah usaha.
ia menunjukkan upaya, dan sampai ia pada mati.
dan walau mati, mukanya tak menunjukkan raut sesal.

dan ia tetap saja, mati.

dan di lubang itu, tikus pertama menggigil, ngeri.
dan di lubang itu, tikus pertama tak bisa menahan desakan dari dalam tubuhnya, mengguncangguncangkan torsonya, dan karena tak ada lagi isi dalam perutnya, hanya cairan asam dan udara pahit yg ia muntahkan.
dan di lubang itu, tikus pertama menangis, lalu tertawa, menangis, lalu tertawa, menangis, lalu tertawa.
dan di lubang itu, tikus pertama meracau di tengah tawanya, sudah kubilang kan! tak kau dengar juga aku! sudah kubilang jangan betempur pegi betempur pula kau! entah ya mati lah kau! tercabik sudah tubuhmu oleh cakar kucing itu!
lalu kemudian ia menangis, dan masih saja muncul racau disela tangisnya, sudah kubilang jangan betempur pegi betempur pula kau! entah ya mati lah kau! sudah kubilang kan, kucing keparat itu hanya pura2 mati! dan habislah kau dicabik taring dan dimakannya!
lalu ia tertawa lagi, untung aku tak ikut kau! untung aku tak sebodoh kau! ha! ha! masih hidup lah aku! tak tercabik lah tubuhku!
lalu ia menangis, lagi, dan lagi. kali ini tak henti tangisnya. selama masih berkelebat dalam ingatannya terkaman kucing itu, tak kuasa ia hentikan tangisnya. masih terekam jelas bagaimana kucing itu tiba - tiba bangkit dalam sekejap mata, sekedip pun tak sampai, belum bertemu antara bulu mata dan bagian bawah mata, tiba - tiba sudah ditangkupnya tegenggam tikus kedua itu di tangannya, terselip diantara cakar yg sebagian menancap tajam ke tubuhnya. semakin keras tangisnya ketika ingatannya sampai pada saat taring kucing mencabik tubuh temannya itu, dan tubuh kurus temannya karena tak makan berhari hari tandas dalam sekejap.

sesekali kembali ia tertawa, ketika ingat bahwa ia merasa tak sebodoh temannya itu, dan ia masih hidup. terutama karena ketika tertawa ia jadi lupa perutnya tak terisi sekian lama.

namun lebih sering ia menangis, terus, sampai lelah dan tak ada lagi tenaga tersisa untuk menangis, tak ada lagi elan, dan hanya perih di perutnya yg mengingatkan ia masih hidup.

di luar sana, ia dengar geram kucing yg belum kenyang, dan nampaknya tak akan pernah ia kenyang. yg jelas, sekarang kucing itu memiliki tenaga lebih dibanding sebelumnya. dan masih saja ia coba kaiskaiskan tangannya ke dalam lubang mencoba meraih satu lagi santapannya.

dan kini, tikus pertama itu, terbaring, disana, di lubang tempat ia selama ini berlindung. di lubang yg selama ini ia ditemani dinding berlumut, lantai lembab, dan kecamuk antara dua pilihan;

menunggu akhir perjalanan hidup karena lapar, atau sampai pada saat dimana akhirnya ia tak kuasa lagi dan tak bertenaga lagi menghindarkan diri dari kaisan cakar kucing yg amat rajin mencari - cari.

dan
waktu
terus
berlalu.

dan waktu
terus berlalu.

dan waktu terus berlalu.






+salapanwelaseptemberteungahpeutinghesesare+

19 September 2010.